Islam Di Tengah Keberagaman Budaya Nasional
Sumber foto: http://www.ugm.ac.id/new/files/u7/wonolelo.jpg
Sumber
Indonesia terdiri atas beragam budaya daerah yang khas. Dalam keragaman budaya itulah Indonesia tumbuh menjadi negeri kesatuan yang hidup dalam keharmonisan di tengah percampuran dengan budaya asing, salah satunya Islam. Sebagai kesatuan bangsa dengan ratusan budaya berbeda, keberadaan Indonesia tidak lepas dari persatuan budaya-budaya tersebut yang berbesar hati menyatukan diri menjadi satu bangsa dengan menjunjung tanah air, bangsa, dan bahasa yang sama sebagai pilar atau identitas nasional bagi seluruh warga. Tiga pilar tersebut merupakan perekat kesatuan dan persatuan bangsa sekaligus menjadi ujung tombak bagi penghormatan dan penghargaan untuk budaya-budaya daerah.
Harmonisasi budaya Indonesia sempat terusik oleh munculnya kelompok yang mencoba memaksakan pandangannya untuk menyeragamkan semua budaya atau menghilangkan perbedaan di antara budaya-budaya. Fenomena ini menjadi faktor yang menghambat laju kemajuan budaya Indonesia secara dinamis. Karena, pemaksaan pandangan budaya terhadap budaya lain merupakan wujud ketidakmampuan insan budaya untuk saling menghargai dan menghormati keberagaman. Dengan kata lain, paksaan terhadap kelompok lain untuk menyamakan kebudayaannya dengan budaya tertentu adalah sebentuk kekerasan budaya yang pada level tertentu tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan perang budaya.
Fenomena perang budaya pernah kita jumpai di beberapa wilayah di Indonesia. Misalnya, pecahnya konflik antara suku Dayak dan Madura, etnis Tiong Hoa dan Jawa, peperangan antarsuku di Papua serta beberapa konflik etnik masa lalu lainnya.
Jika dikaitkan dengan ajaran Islam, perbedaan dan keragaman budaya secara absolut merupakan sunatullah, kehendak Tuhan yang tidak mungkin dihindari. Manusia wajib menyadari dan menghormati keragaman tersebut, bukan menjadikan keberbedaan budaya sebagai alat untuk melakukan tindak kejahatan.
Allah berfirman yang artinya, “Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal…” (QS. Al-Hujurat: 13). Dalam ayat tersebut, sangat terang bahwa perbedaan memang telah menjadi ketentuan Allah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Dari perbedaan, manusia mesti berpikir untuk menciptakan persatuan yang harmois dan penuh kedamaian.
Begitu halnya kebudayaan yang ada di Indonesia dengan segala bukti sejarahnya. Indonesia termasuk negeri yang terlewati jalur sutra perdagangan internasional masa lalu, khususnya jalur perdagangan dari wilayah Asia Selatan yang sangat dekat dengan wilayah Timur Tengah yang berbudaya Islam. Dari jalur perdagangan ini, Indonesia telah terasimilasi oleh kebudayaan Islam yang dibawa dari Timur Tengah.
Dari fakta sejarah tersebut, sikap bijak yang semestinya ditanamkan ke dalam hati dan pikiran orang Indonesia adalah menghargai dan menerima kebudayaan yang bercorak kebaikan atau kebudayaan yang berpotensi untuk memperbaiki kekurangan dari kehidupan bermasyarakat dengan tetap mempertahankan kearifan lokal yang telah lama dibina di bumi Nusantara. Tidak semestinya bangsa Indonesia menolak mentah-mentah tawaran budaya asing yang datang karena banyak hal positif yang sangat bermanfaat bagi budaya nasional. Tidak semestinya pula insan Indonesia begitu mudahnya menelan bulat-bulat budaya asing yang datang sebab tentu saja ada konsekuensi negatif atas penerimaan budaya asing.
Secara khusus mengenai kedatangan Islam, ada beberapa hal yang perlu dibedakan antara budaya Islam dan budaya negara asal agama Islam, Saudi Arabia. Hal ini penting agar tidak timbul pengkultusan terhadap budaya negara tertentu sehingga menjadi ajaran, agama atau lebih umum ideologi yang mutlak dan mendominasi budaya nasional. Bagi sebagian pihak, hal ini adalah masalah prinsip yang jika terjadi maka hal itu menunjukkan suatu pemahaman jumud yang tidak mendidik dari para insan budaya yang menerimanya.
Di Indonesia, penyamaan atas Islam dan budaya Arab bukan lagi menjadi hal yang langka, karena beberapa kelompok secara ekstrem dan menutup mata meyakini dan menggunakan paham ini. Mulai dari gaya berpakaian, misalnya dengan memakai gamis(baju kurung yang panjang hingga menutupi sepertiga badan), bersorban, mengenakan cadar/niqab/burqa, serta berbagai penampilan atributif lainnya. Fenomena ini cukup menggelitik pemikiran orang Indonesia tentang makna budaya. Sekaligus, hal ini cukup membuktikan bahwa betapa pemahaman sebagian masyarakat tampak kacau dan terlihat bodoh. Tidak ada sensor yang terang mengklasifikasikan hal-hal yang disebut budaya dan sesuatu yang termasuk ajaran agama. Memang benar bahwa agama merupakan bagian dari sebuah istilah besar yang disebut budaya. Akan tetapi, jika secara brutal dan tanpa koridor yang jelas tentang kedua hal itu, maka manusia tidak ubahnya hanya sebentuk makhluk yang berjalan tanpa arah. Aturan agama bisa jadi dianggap hanya sebentuk contoh dari budaya, atau sebaliknya suatu budaya yang semestinya tidak diletakkan sebagai suatu hal yang transendental menjadi seolah-olah bernilai ketuhanan yang berimplikasi pada banyak hal.
Mengenakan jubah, cadar atau surban adalah contoh budaya atributif yang semestinya tidak di-divine-kan, sebab hal itu merupakan budaya masyarakat Arab yang sangat lekat dengan kondisi geografis dan kondisi historis. Islam datang mengajarkan konsep aurat, yakni kehormatan atau harga diri setiap insan yang melekat pada diri masing-masing yang disimbolkan dengan bagian tubuh yang berharga yang oleh karena itu harus tertutup, tidak diperlihatkan seenaknya. Dengan demikian, bagi umat Muslim, berpakaian baik untuk beribadah kepada Allah SWT maupun sebagai suatu kontinuitas sehari-hari, sungguh tidak diwajibkan untuk mengenakan atribut atau pakaian yang lazim digunakan oleh masyarakat Jazirah Arab. Yang wajib adalah berpakaian menutup aurat. Kelompok ekstrem seringkali menganggap jika seorang Muslim pergi ke masjid untuk menegakkan salat atau mendalami agama Islam dengan pakaian yang tidak seragam dengan yang dipakai oleh Nabi dan para sahabat maka aktivitas ibadahnya terhitung kurang sempurna atau tidakafdhal. Padahal sesungguhnya model fashion yang dikenakan Rasulullah dan sahabat tidak ubahnya yang dipakai masyarakat Jazirah Arab saat itu, termasuk yang dikenakan oleh orang-orang yang memusuhi beliau seperti Abu Lahab, Abu Jahal, atau istri Abu Lahab.
Umat Muslim Indonesia adalah umat Muslim yang cerdas dan bijak. Kita harus mampu menyaring mana ajaran Islam dan mana budaya Arab. Jika disamakan, jelas menimbulkan ketidak nyamanan bagi umat Islam sendiri. Perbedaan iklim, geografis, genetik, politik dan aspek lainnya sudah barang tentu menjadi faktor penentu bagaimana budaya itu digunakan.
Sebagai Muslim yang secara total menerima ajaran Islam, pada saat yang sama sebagai warga negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai luhur budaya negeri kita, selayaknya kita menjaga dan melestarikan kebudayaan tersebut menjadi jati diri bangsa yang mengantarkan kita menjadi bangsa yang bermartabat dan berjalan sejajar dengan bangsa lain. Mari kita mulai mengawali kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama dari pola pikir yang universal dengan tetap mengutamakan kearifan lokal sebagai wujud kecintaan pada kekayaan budaya bangsa sebagai jati diri kita. Kehadiran Islam ke dalam budaya Indonesia bukan berarti menghapus budaya nasional yang sejak lama sudah ada. Sebaliknya, Islam termasuk di antara budaya asing yang mencerahkan masa depan kebudayaan bangsa kita, seperti halnya sains dan teknologi yang berasal dari Barat yang telah memajukan peradaban nasional kita. Oleh karena itu, kita harus berpikir bagaimana budaya-budaya itu dapat dipersatukan menjadi kombinasi budaya yang harmonis dan dinamis yang bisa diterima sebagai kesalihan nasional, sebagai sebuah kekayaan budaya bangsa Indonesia.
*Penulis ialah staff Dewan Pendidikan Kota Tangsel dan Koordinator Wilayah Jawa Ikatan Bahasa dan Sastra IndonesiaSumber
0 komentar:
Posting Komentar